MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
( LEARNING DISFUNCTIONS )
Dosen Pengampu : Heny Wijayanti, S.SiT
Disusun
Oleh :
Anis
Nur Aini ( NIM : 1504172)
PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
SEMARANG TAHUN AJARAN 2015/2016
Penulis mengucapkan puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dengan limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “LEARNING DISFUNCTIONS“.
Sholawat dan salam penulis mohonkan kepada Allah SWT.semoga tetap di
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari alam
kebodohan sampai ke alam serba berilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Semarang, 22 September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG................................................................... 1
B. TUJUAN......................................................................................... 2
C. RUMUSAN MASALAH............................................................... 2
D. MANFAAT.................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN
TEORI
A. PENGERTIAN LEARNING DISFUNCTIONS.......................... 3
B. CIRI-CIRI...................................................................................... 3
C. GEJALA......................................................................................... 3
D. MASALAH.................................................................................... 5
E.
METODE........................................................................................ 7
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN.............................................................................. 16
B. SARAN.......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalamkegiatanpembelajaran
di sekolah, kitadihadapkandengansejumlahkarakterisktiksiswa yang beranekaragam.
Ada siswa yang
dapatmenempuhkegiatanbelajarnyasecaralancardanberhasiltanpamengalamikesulitan,
namun di sisi lain tidaksedikit pula siswa yang
justrudalambelajarnyamengalamiberbagaikesulitan. Kesulitanbelajarsiswaditunjukkanolehadanyahambatan-hambatantertentuuntukmencapaihasilbelajar,
dandapatbersifatpsikologis, sosiologis, maupunfisiologis,
sehinggapadaakhirnyadapatmenyebabkanprestasibelajar yang dicapainyaberada di
bawahsemestinya.
Kesulitanbelajarsering kali mencangkupkondisi
yang bisajadiberupaadanyamasalahdalammendengar, berkonsentrasi, berbicara,
membaca, menulis, menalar, berhitung, atau problem interaksisosial.Jadi, anak
yang memilikimasalahgangguanbelajarbolehjadimemilikiprofil yang berbeda-beda
(Henly, Ramsey, &Algozzine,
1999).Gangguanbelajarjugaterjadibersamadenganlainya,
sepertigangguankomunikasidangangguanemosional (Polowaydkk., 1997).
LebihlanjutSumadiSuryabratamenggambarkanciri-cirianak
yang mengalamikesulitanbelajarmenunjukkanadanyagangguanaktifitasmotorik,
emosional, prestasi, persepsi, tidakdapatmenangkaparti,
membuatdanmenangkapsimbol, perhatian,
tidakdapatmemperhatikandantidakdapatmengalihkanperhatian, dangangguaningatan
(Sugihartono, dkk., 2007).
Berikutiniadalahpermasalahanbelajarpesertadidik
agar dapatmemberikangambarantentangperbedaanpadapermasalahanbelajar
menurutWarkitri, dkk. (dalamSugihartono, dkk., 2007) meliputi:
1.
Kekacauanbelajar (Learning Disorder)
2.
Ketidakmampuanbelajar (Learning Disabiliti)
3. Learning
Disfunctions
4. Under
Achiever
5.
Lambatbelajar (Slow Learner)
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dan
contoh dari Learning Disfunctions?
2.
Apa ciri-ciri
tingkah laku manifestasi dari Learning
Disfunctions?
3.
Apa saja
manifestasi gejala kesulitan belajar?
4.
Apa saja dampak
dari Learning Disfunctions?
5.
Metode apa saja
yang bisa digunakan untuk mengatasi Learning
Disfunctions?
C.
Tujuan
- Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.
- Tujuan Khusus
a.
Mengetahui
pengertian dan contoh tentang Learning
Disfunctions.
b.
Mengetahui
ciri-ciri tingkah laku manifestasi dari Learning
Disfunctions.
c.
Mengetahui
manifestasi gejala kesulitan belajar.
d.
Mengetahui dampak
dari Learning Disfunctions.
e.
Mengetahui metode
yang bisa digunakan untuk mengatasi Learning
Disfunctions.
D. Manfaat
Dapat mengetahui dan menanggapi kasus kesulitan
belajar terutama mengenai Learning
Disfunctions.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian
Learning Disfunction
MenurutWarkitridkk (1990) Learning
Disfunctionyaitukesulitanbelajar yang mengacupadagejala proses belajar yang
tidakdapatberfungsidenganbaik, walaupunanaktidakmenunjukkanadanya subnormal
mental, gangguanalatinderaataupungangguanpsikologis yang lain.Contoh :siswa
yang yangmemilikiposturtubuh yang tinggiatletisdansangatcocokmenjadiatlet bola
volley, namunkarenatidakpernahdilatihbermain bola volley,
makadiatidakdapatmenguasaipermainan volley denganbaik.
Gangguanbelajariniberupagejala proses
belajar yang
tidakberfungsidenganbaikkarenaadanyagangguansyarafotaksehinggaterjadinyagangguanpadasalahsatutahapdalam
proses belajarnya. Kondisisemacaminimengganggukelancaran proses
belajarsecarakeseluruhan.
B.
Ciri-ciri
Ciri-ciri tingkah laku yang merupakan manifiestasi dari kesulitan belajar
dari Learning disfunction, antara lain:
1.
Hasil belajar yang rendah, dibawah rata-rata dan tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan.
2.
Lambat dalam melaksanakan tugas kegiatan belajar (akademik) dan
perkembangan (development).
3.
Menunjukkan sikap (personality), tingkah laku, cara pikir dan gejala
emosional yang kurang wajar dalam proses belajar.
4.
Tidak setara antara IQ dan prestasi atau antara prestasi kecakapan
(kepandaian) dengan hasil perfect yang mestinya dicapai.
C.
Gejala
Beberapa perilaku yang merupakan manisfestasi gejala kesulitan belajar ,
antara lain:
1.
Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai
oleh kelompoknya atau dibawah potensi yang dimilikinya.
2.
Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan.
Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang
diperolehnya selalu rendah.
3.
Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu
tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4.
Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh,
menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5.
Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat,
tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas,
tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan
sebagainya.
6.
Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah
tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi
tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan
sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang
diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan
siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan
gagal dalam belajar apabila :
1. Dalam batas
waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan
atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu
yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak dapat
mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran
tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat
digolongkan ke dalam under achiever.
3. Tidak berhasil
tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat
bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke
dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi
pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang
mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau
patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa:
1.
Tujuan pendidikan
2.
Kedudukan dalam kelompok
3.
Tingkat pencapaian hasil belajar
dibandingkan dengan potensi
4.
Kepribadian.
D.
Masalah
Kesulitan
belajar learning disfunction memiliki dampak pada beberapa aspek,
seperti:
1.
Pendidikan
Kesulitan belajar learning disfunction berdampak pada masalah
pendidikan, yaitu:
Adanya kasus
dikenal sebagai anak yang pandai, memiliki pengetahuan umum yang luas, mudah
dalam menangkap pelajaran dan cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik
yang diberikan, namun disisi lain disamping dikenal memiliki kegagalan khusus
dalam membaca atau juga cenderung memiliki sikap-sikap belajar yang kurang
mendukung upaya pencapaian prestasi yang baik seperti: malas, menyepelekan
tugas, cepat bosan, kurang memperhatikan pelajaran, akibatnya secara umum prestasinya
rendah dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya.
2.
Penyesuaian Sosial
Secara sosial cenderung kurang mampu menjalin relasi sosial yang memuaskan
dengan lingkungannya yang ditandai dengan gejala kurang kooperatif, pendiam,
dan menarik diri. Dan mereka tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan
secara baik.
3.
Emosional
Secara psikologis memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor
test kemampuan verbal dan performen, memiliki daya tangkap yang bagus,
imajinatif tinggi, cepat dalam menyelesaikan persoalan tetapi cenderung
hiperatif,emosional, terburu-buru, kurang pertimbangan, malas, mudah frustasi,
serta menolak dengan berbagai alasan.
Kondisi neurologis (gangguan motorik) dan psikologis (gangguan persepsi
atau konsentrasi) merupakan faktor dominan yang melatar belakangi munculnya
kegagalan dalam penguasaan keterampilan dasar belajar anak yang memiliki
kelebihan diatas rata-rata. Akibat kondisi tersebut anak kurang mampu menguasai
keterampilan prasyarat belajar akademik yang dibutuhkan. Kondisi tersebut dapat
berdiri sendiri-sendiri atau muncul sebagai rangkaian sebab akibat.Tak jarang
masalah yang timbul dari learning disfunction pada aspek emosional,
yaitu:
1.
Tidak bisa mengontrol emosi
dengan baik.
2.
Tidak dapat mengelola emosi
dengan baik.
3.
Emosional yang tidak wajar,
seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam
menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak
menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
4.
Ekonomi
Masalah yang timbul dari learning disfunction pada aspek ekonomi
adalah orang yang kesulitan belajar (learning disfunction) dibawah
rata-rata dengan orang yang tidak mengalami kesulitan belajar. Karena
kebanyakan orang yang mengalami learning disfunction jarang bisa
menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan tepat. Tetapi tak jarang ekonomi
orang learning disfunction ini dapat diatas rata-rata orang yang normal
jika mereka maupun orang sekitar mereka mengetahui bakat mereka dan mendukung
mereka.
E. Metode
1.
Metode
Discovery
Teknik penemuan adalah terjemahan dari discovery. Sund dalam
Roestiyah (2008) menyatakan bahwa, discovery adalah proses mental dimana
siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental
tersebut antara lain adalah mengamati, mencerna, mengerti,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan
dan sebagainya. Menurut Encylopedia of Educational Research, penemuan
merupakan suatu strategi yang unik dapat disampaikan oleh guru dalam berbagai
cara, termasuk mengajarkan keterampilan menyelidiki dan memecahkan masalah
sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Dengan demikian
metode discovery, yakni suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam
proses kegiatan mental tersebut melalui tukar pendapat, baik dengan diskusi,
seminar, membaca sendiri, agar anak dapat belajar sendiri (Roestijah, 2008).
Metode discovery menjadi salah satu metode yang banyak digunakan
guru-guru di sekolah yang sudah maju. Hal ini disebabkan karena metode discovery
ini:
1. Merupakan suatu
cara untuk mengembangkan cara belajar siswa agar aktif.
2.
Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh
akan tahan lama dalam ingatan, serta tidak mudah dilupakan anak.
3.
Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul
dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain.
4.
Dengan menggunakan strategi penemuan anak belajar menguasai salah satu
metode ilmiah yang akan dapat dikembangkannya sendiri.
5.
Dengan menggunakan metode penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis
dan mencoba memecahkan problem yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan
ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Dahar (1996), pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan
menunjukkan beberapa kebaikan, diantaranya:
1. Pengetahuan itu
bertahan lama atau lama dapat diingat, atau lebih mudah diingat, bila
dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.
2. Hasil belajar
penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar
lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dijadikan
milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru.
3. Secara
menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk
berfikir secara bebas.
Selanjutnya Bruner (dalam Dahar, 1996) mengemukakan, bahwa belajar penemuan
membangkitkan keingintahuan siswa, membuat situasi belajar menjadi lebih
merangsang, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan
jawaban-jawaban. Lagi pula belajar penemuan ini dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan
memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain dan meminta para siswa untuk
menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja. Menurut
Dahar (1996) menambahkan, bahwa secara menyeluruh belajar penemuan dapat
meningkatkan penguasaan konsep siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas,
sehingga siswa akan memahami konsep-konsep dasar dan ide-ide yang lebih baik
karena siswa didorong untuk berfikir. Dengan metode ini lebih ditekankan pada
proses penemuan konsep bukan pada produknya, dikarenakan konsep-konsep
merupakan batu-batu pembangun untuk berfikir (Dahar, 1996).
2. Metode
Inquiry
Inquiry sebagai suatu proses umum yang
dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo dalam Trianto
(2007) menyatakan strategi Inquiry berarti suatu rangkaian kegiatan
belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari
dan menyelidiki secra sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka
dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh rasa percaya diri.
Trianto (2007) menyatakan bahwa sasaran utama kegiatan pembelajaran inquiry
adalah:
1. Keterlibatan
siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar.
2. Keterarahan
kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran.
3.
Mengembangkan sikap rasa percaya diri siswa tentang apa yang ditemukan
dalam proses inquiry.
Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inquiry bagi
siswa adalah:
1. Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa berdiskusi.
2. Inquiry berfokus pada hipotesis.
3. Penggunaan
fakta sebagai evidensi (informasi, fakta).
Pembelajaran inquiry dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke
dalam proses ilmiah dalam waktu yang relative singkat. Hasil penelitian
Schlenker, dalam Weil (1992), menunjukkan bahwa latihan inquiry dapat
meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berfikir kreatif, dan siswa
menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi (Suryosubroto,
2007). Menurut Gulo menyatakan, bahwa inquiry tidak hanya mengembangkan
kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional
dan keterampilan inquiry merupakan suatu proses yang bermula dari
perumusan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data,
dan membuat kesimpulan (Trianti, 2007).
Metode discovery dapat diartikan menemukan, sedangkan inquiry
dapat diartikan mencari dan memahami informasi.Agar kedua metode tersebut dapat
diperoleh secara bersama untuk saling melengkapi, maka digunakan metode
modifikasi dari kedua metode tersebut, yaitu metode discovery-inquiry.
3.
Metode
Discovery-Inquiry
Metode discovery-inquiry adalah cara penyajian pelajaran yang banyak
melibatkan siswa dalam proses-proses mental dalam rangka penemuannya. Istilah
asing yang sering digunakan untuk metode ini ialah discovery yang
berarti penemuan, dan inquiry yang berarti mencari. Amien (1987)
menjelaskan bahwa pengajaran discovery harus meliputi
pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin siswa dapat mengembangkan
proses-proses discovery. Dengan kata lain, inquiry adalah suatu
perluasan proses-proses discovery yang digunakan dengan cara lebih
dewasa. Sebagai tambahan pada proses-proses discovery, inquiry
mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya
merumuskan problema sendiri, merancang eksperimen, melakukan eksperimen,
mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, mempunyai sikap-sikap
objektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, dan sebagainya.
Metode discovery-inquiry adalah suatu metode pembelajaran yang
dikembangkan agar siswa dapat menemukan proses mentalnya untuk dapat menemukan
suatu konsep atau prinsip berdasarkan proses inquirynya dari pertanyaan,
fakta, kesimpulan, dan generalisasi yang berupa merancang eksperimen,
menganalisis data dan menarik kesimpulan sendiri. Metode ini sangat cocok untuk
pembelajaran sains terutama pelajaran kimia sebagai ilmu pengetahuan yang
dikaji tentang fenomena alam. Hal ini dikemukakan oleh Amien (1987) yang
menyatakan bahwa dengan pembelajaran menggunakan metode discovery-inquiry,
esensi IPA sebagai alat penemuan pengetahuan dengan cara observasi, eksperimen
dan pemecahan masalah dapat tercapai. Selain itu, dengan pembelajaran
menggunakan metode discovery-inquiry pengetahuan yang didapatkan siswa
akan lebih bermakna, karena dengan metode ini siswa sendiri yang mencari dan
menemukan pengetahuannya.
Mengenai metode discovery-inquiry ini, National Science Teachers
Association Amerika Serikat mengemukakan pendapatnya mengenai karakteristik
metode pembelajaran menggunakan metode discovery-inquiry, yaitu bahwa discovery-inquiry
memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain:
1. Questioning and
formulating solvable problems, yaitu adanya
pertanyaan dan perumusan suatu permasalahan yang dapat diselesaikan.
2. Reflecting on,
and constructing knowledge from data, yaitu
melakukan refleksi dan membangun pengetahuan dari data.
3. Collaborating
and exchanging information while seeking solution, yaitu adanya kolaborasi atau kerjasama dan saling tukar informasi untuk
memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan.
4. Developing
concepts and relations from empirical data, yaitu
mengembangkan konsep dan hubungannya dari data empiris.
Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode discoveri-inquiry
pada dasarnya merupakan perpaduan dan modifikasi dari tahapan pelaksanaan
metode discovery dan metode inquiry. Beberapa pakar pendidikan
mengemukakan pendapat mengenai langkah-langkah pembelajaran dengan metode discovery-inquiry,
diantaranya berdasarkan Amien (1987) mengemukakan bahwa metode discovery-inquiry
memiliki tiga tahap pembelajaran, yaitu:
1.
Tahap diskusi, pada tahap ini guru memberikan
beberapa pertanyaan kepada siswa untuk kemudian didiskusikan oleh siswa. Tahap
ini bertujuan untuk mengetahui konsepsi awal siswa.
2.
Tahap proses, merupakan tahap inti kegiatan
pembelajaran, guru mengarahkan siswa untuk melakukan percobaan untuk menemukan
konsep yang benar.
3. Tahap pemecahan masalah, pada tahap ini siswa diminta
untuk membandingkan hasil diskusi sebelum observasi (konsep awal siswa) dengan
hasil kegiatan observasi.
Selain langkah-langkah di atas, Syamsudin (2003) mengemukakan
langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pembelajaran menggunakan metode discovery-inquiry,
yaitu:
1. Stimulasi (stimulation)
Guru mulai bertanya dan menyuruh
siswa membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
2. Perumusan
masalah (problem statement)
Siswa diberi kesempatan untuk
mengidentifikasi masalah yang muncul. Selanjutnya dari masalah ini siswa
dituntut untuk membuat hipotesis sebagai jawaban sementara atas masalah yang
telah dirumuskan oleh siswa.
3. Pengumpulan
data (data collection)
Untuk menjawab dan membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis siswa, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan
berbagai data dan informasi yang relevan dan jelas, yaitu dengan cara telaah
literature, melakukan percobaan, melakukan observasi dan sebagainya.
4. Analisis data (data
processing)
Semua data dan informasi yang
diperoleh siswa diolah (dicek, diklasifikasikan, ditabulasikan dan sebagainya)
serta ditafsir pada tingkat kepercayaan tertentu.
5. Verifikasi (verification)
Berdasarkan hasil pengolahan data
dan informasi, guru mengarahkan siswa untuk mengecek hipotesis yang dibuat
siswa di awal kegiatan apakah hipotesis terbukti atau tidak.
6. Generalisasi (generalization)
Pada tahap ini guru mengarahkan
siswa untuk belajar menarik kesimpulan atau generalisasi berdasarkan hasil
verifikasi yang telah dilakukan.
Amien (1987) menguraikan tentang tujuh jenis discovery-inquiry yang
dapat diikuti sebagai berikut:
1. Guided
Discovery-Inquiry Lab.Lesson
Sebagai perencanaan dibuat oleh guru. Selain itu
guru menyediakan kesempatan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada
siswa. Dalam hal ini siswa tidak merumuskan problema, sementara petunjuk yang
cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh guru.
2. Modified
Discovery-Inquiry
Guru hanya memberikan problema saja. Biasanya
disediakan pula bahan atau alat yang diperlukan, kemudian siswa diundang untuk
memecahkannya melalui pengamatan, eksplorasi dan atau melalui prosedur
penelitian untuk memperoleh jawabannya. Pemecahan masalah dilakukan atas
inisiatif dan caranya sendiri secara berkelompok atau perorangan. Guru berperan
sebagai pendorong, narasumber, dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk
menjamin kelancaran proses belajar siswa.
3. Free Inquiry
Kegiatan free inquiry dilakukan setelah
siswa mempelajari dan mengerti bagaimana memecahkan suatu problema dan telah
memperoleh pengetahuan cukup tentang bidang studi tertentu serta melakukan modified
discovery-inquiry. Dalam metode ini siswa harus mengidentifikasi dan
merumuskan macam problema yang akan dipelajari atau dipecahkan.
4. Invitation Into
Inquiry
Siswa dilibatkan dalam proses pemecahan problema
sebagaimana cara-cara yang lazim diikuti ilmuwan. Suatu undangan (invitation)
memberikan suatu permasalahan kepada siswa, dan melalui pertanyaan masalah yang
telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa untuk melakukan beberapa
kegiatan, yaitu merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menetapkan control,
menentukan sebab akibat, menginterpretasi data dan membuat grafik.
5. Inquiry Role
Approach
Inquiry role approach merupakan kegiatan proses belajar yang melibatkan siswa dalam tim-tim yang
masing-masing terdiri atas empat anggota untuk memecahkan invitation into
inquiry. Masing-masing anggota tim diberi tugas suatu peranan yang
berbeda-beda sebagai berikut: koordinasi tim, penasihat teknis, pecatat data,
dan evaluator proses.
6. Pictorial
Riddle
Pendekatan dengan menggunakan pictorial riddle
adalah salah satu teknik atau metode untuk mengembangkan motivasi dan minat
siswa di dalam diskusi kelompok kecil maupun besar. Gambar, peragaan, atau situasi
yang sesungguhnya dapat digunakan untuk meningkatkan cara berfikor kritis dan
kreatif siswa. Suatu riddle biasanya berupa gambar di papan tulis, papan
poster, atau diproyeksikan dari suatu transparasi, kemudian guru mengajukan
pertanyaan yang berkaitan dengan riddle itu.
7. Synectics
Lesson
Pada dasarnya syntetics
memusatkan pada keterlibatkan untuk membuat berbagai macam bentuk metafora
(kiasan) supaya dapat membuka intelegensinya dan mengembangkan kreativitasnya.
Hal ini dapat dilaksanakan karena metafora dapat membantu dalam melepaskan
“ikatan struktur mental” yang melekat kuat dalam memandang suatu problema
sehingga dapat menunjang tinbulnya ide-ide kreatif.
Keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada metode pembelajaran,
tetapi juga harus ada alat atau media sebagai alat bantu pembelajaran. Hal ini
agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan dalam proses belajar mengajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Learning Disfunctions adalah salah satu jenis dari
kesulitan belajar yaitukesulitanbelajar yang
mengacupadagejala proses belajar yang tidakdapatberfungsidenganbaik,
walaupunanaktidakmenunjukkanadanya subnormal mental,
gangguanalatinderaataupungangguanpsikologis yang lain. Gangguanbelajariniberupagejala
proses belajar yang
tidakberfungsidenganbaikkarenaadanyagangguansyarafotaksehinggaterjadinyagangguanpadasalahsatutahapdalam
proses belajarnya. Kondisisemacaminimengganggukelancaran proses
belajarsecarakeseluruhan.
B. Saran
Hendaknya setiap
guru atau pendidik mengetahui dan paham macam-macam permasalahan yang dialami
anak didiknya agar dapat memberikan bimbingan belajar dengan tepat.
DAFTAR
PUSTAKA
http://fahriikurniiawan.blogspot.co.id/2012/05/makalah-kesulitan-belajar_24.html
http://lufensio-trio.blogspot.co.id/2012/05/learning-disfunction.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar